
“mau kemana? gaboleh masuk soalnya pake sandal jepit”, kata satpam FEB UGM saat aku kuliah dulu. aku lepas sendalnya, dan aku boleh masuk. lucunya dunia ini.
Aku pernah juga gaboleh, atau lebih tepatnya gaenak masuk ke kantor kontraktor besar karena sendal jepitan pas mau ketemu temenku yang kerja disana. Aku duduk aja lesehan di sebrang pintu masuk gedung bertigkat-tingkat itu. Aku tau diri dengan tanya ke satpam, “Saya boleh masuk ga pak pake baju gini?”. Jawabannya gaboleh. Seperti dugaanku. Aku hargai itu, semakin dewasa semakin bisa menerima dan tak perlu protes.
Waktu ke istana negara, aku sadar diri tapi wkwk. Kebetulan pake baju kantor juga, jadi gamungkin sendal jepitan. Tapi pingin lho bisa diterima masuk istana negara pakai baju rumahanku. Maybe someday. Bukan untuk tidak menghargai, tapi saling menghargai.
Duh banyak sekali ya kenangan hidupku dengan sendal jepit. Terakhir ke Museum Macan dan PIK 2 pake sandal jepit dan celana boxer. Aku sambil mengamati orang pada dress up ya kalo keluar rumah, aku kok gapingin. Seluruh dunia ini aku anggap rumahku. Tempat aman bagi kebebasan berekspresi. Diam-diam aku sambil mengamati mata orang-orang dalam memandangku.
Bersandal jepit tak pernah aku niatkan tak sopan. Justru aku ingin disepelekan dan solidaritas dengan banyak orang yang sehari-hari memang bersandal jepit, karena punyanya memang itu. Hidup begitu sederhana tapi dibuat serba sulit dan banyak aturan.
Pada ujungnya, maksudku adalah jangan sampai kita mengusir, melihat sinis, dan mengacuhkan orang-orang bersandal jepit. Aku sudah banyak mengalami hal ini, menumbuhkan empatiku. Semoga dunia semakin nyaman bagi siapapun dan ada ruang untuk menjadi diri sendiri.
Tapi target hidupku adalah diterima dimana-mana oleh siapa saja bukan karena pakaianku, tapi karena manfaatku. Bismillah.
Biar aku dianggap gembel dimata manusia, sebagai ujian peradaban. Hanya Allah yang mengetahui.
Bogor, 16 Oktober 2025
Nihan Lanisy
Leave a Reply