
Kenapa saya suka perjalanan?
Setelah direnungkan ternyata perjalanan memberikan ruang dan jarak. Ruang untuk merenung, jarak untuk berpikir.
Pada sebuah perjalanan pulang, yang ditempuh setiap hari, ada kesempatan untuk mengingat Tuhan, mendoakan siapapun, merefleksikan hari kemarin-ini, merencanakan hari esok. dan mensyukuri atau mendustakan nikmatNya.
Pada kemacetan, terdapat rasa syukur. Ada lebih banyak waktu untuk melakukan banyak hal, salah satunya tidur dan merenung.
Pada konteks ini, HP adalah sebuah ujian. Waktu yang sebenarnya bisa dipakai untuk banyak hal lain, justru dipakai bekerja dan mengetahui hal-hal yang sebenarnya tak penting kita ketahui. Ada garis batas tipis dari kehidupan profesional dan personal, dan batas itu kita yang buat sendiri.
Pada sebuah perjalanan kemarin, tiba-tiba saya ingin mendoakan orang-orang tua saya (kandung, mertua, guru, tentangga, rekan kerja, dan siapapun yang bisa saya jangkau). Terlebih lagi saya ingin mendoakan orang-orang tua pendahulu saya, yang membuat saya hadir dan memberi solusi+masalah di kehidupan semesta ini. Kakek-nenek-seluruh buyut-buyut siapapun itu. Saya dikaruniai kesempatan untuk tidak bertemu secara fisik dengan kedua kakek saya, hanya nenek-nenek saja. Itupun satu nenek saya tak pernah ketemu, hanya dalam bentuk foto dan cerita. Apalagi buyut-buyut saya yang kebanyakan saya tak tahu namanya dan siapa beliau, namun saya yakin pasti saya punya buyut dan atas-atasnya lagi. Kehidupan tanpa leluhur adalah mustahil, sebab kita tak lahir dari batu dan angin kosong.
Ada sebuah kesedihan dan kebahagian yang bercampur pada sore itu, yin dan yang. Saya tak mengenal mereka namun terasa dekat, ada aliran darah dan detaknya dalam diri saya. Apapun itu, yang mereka butuhkan, dalam sependek perenungan saya, adalah doa dari keturunannya dan keturunan yang berbuat baik/salih. Hanya itu saja. Memiliki keturunan yang terpandang dan kaya raya adalah bonus, tiada guna jika tak pernah mendoakan (sebagai vitamin untuk mereka yang telah berpulang) dan menjadi orang baik. Sebab kebaikan adalah sungai, yang akan kering jika tak diteruskan kebaikannya.
Perjalanan, dalam hening sunyinya, bisa sedalam ini. Mengkoneksikan diri dengan kesejatian. Bagai pisau bermata dua, tinggal mau diguna yang mana. Itu pilihan.
Pernah nonton film Coco, dimana kisahnya tentang budaya Día de los Muertos (Day of the Dead)? Leluhur yang tak pernah didoakan tersiksa di alamnya, sama-sama disekitar kita tapi beda dimensi. Saya rasa ini sangat terkait dengan keyakinan saya.
Namun kita ini hanya manusia, sering lupa. Malah mengejari materi, matters, dan unimportant things that seems important in this world.
Sebermulanya doa, apapun doa.
Niat adalah kejadian sebelum semua hal terjadi. Sehingga berbahagialah dan berhati-hatilah dalam hidup.
Pungkiri kebohongan dan tipu-tipu dunia. Bukan hanya untuk kita dan anak cucu, namun penting untuk para pendahulu. Jika saja hidup ini adalah perjalanan yang sangat panjang sampai kiamat kecil dan kiamat besar hadir.
Ada tetangga sebelah yang meninggal sendiri, tanpa anak & istri yang kami ketahui. Sesekali saya doakan, entah sampai atau tidak dan berguna atau tidak. Mungkin ini salah satu ilustrasi tentang donga dinonga. Dalam kesempitan berpikir saya, hanya berpikir, kira-kira adakah yang mendoakan beliau? Jika tidak ada biarlah saya yang ambil peran juga. Tiada rugi, tiada untung. Ini bukan perdagangan.
Dan setiap habis shalat, kita berdoa untuk kedua orang tua untuk supaya diampuni dosa-dosanya dan dijauhkan dari siksa neraka. Juga kita berdoa untuk kita supaya selamat dunia, akhirat, dan dijauhkan dari siksa neraka. Neraka begitu lekat dengan doa-doa kita, untuk dijauhkan bukan didekatkan. Namun banyak doa, saya rasa, jadi komat-kamit tanpa intensi dan penghayatan. Sehingga rasa malas dalam berdoa bisa jadi muncul.
Sehat-sehat.
Pondok Cabe, 26 Februari 2025
Nihan Lanisy
Leave a Reply