Rezeki itu benda gaib.
Kalo punya uang ya harus dibuang-buang. Kata “dibuang-buang” itu sombong banget ya kesannya.
Semua yang lepas, kembali pulang berlipat ganda. Tak tau berapa, tak tau kapan. Matematika di dalam kelas, senantiasa diterapkan dalam hidup kosmos dan fisika kuantum ini.
Mungkin itu yang bikin hidup berat.
Semua yang hadir di kita, ada porsi milik orang lain yang melekat. Jangan dilekatin terus, hapus lemnya terus kasih ke orang lain, segera.
Ini sangat MANUSIAWI, oleh sebab itu ada sifat KENABIAN dan KETUHANAN yang menjadi contoh untuk manusia tekun. Bukannya mau jadi nabi atau tuhan, tapi sifatnya sudah di jembrengkan.
Lagipula kita pasti jadi angin yang tak lagi sanggup raba ferrari kita. Menyisakan hutang dan tagihan yang tak kunjung selesai. Apa benar itu yang kau mau?
Beberapa yang pulang, mampir sebentar tuk ingatkan. Beberapa yang mampir, tak meninggalkan rezeki lain selain pengetahuan. Meski tahu, mentalnya tempe.
Buang saja uangmu. Ke orang tua, keluarga, pedagang yang lelah, teman taulan, yatim dan piatu, dan siapapun yang membutuhkan, termasuk dirimu. Buang ke tempat sampah, bukan jadi sampah.
Uang yang dibuang jadi uap. Uap yang mengabarkan ke seisi dunia “ini ada orang yang pantas dititipi rezeki”.
Ratus-ratus ribu yang kubuang kemarin tiba-tiba kembali lagi, ini berlebihan. Apakah benar ada orang yang ndak boleh miskin ya Allah? Apakah aku terlalu sombong menuliskannya begini, ya Allah?
Pondok Cabe, 30 Agustus 2024
Nihan Lanisy
Leave a Reply