
Gunung Merapi tak hanya menawarkan puncaknya saja untuk didaki, tapi ada hutan-hutan yang menawarkan banyak hal. Lutung dan Elang Jawa seperti menyambut kedatangan kami untuk melakukan meditasi, yoga, berbagi dan belajar mindfulness, dll.
Saya mencoba barefoot, tanpa alas kaki, seperti yang saya biasa lakukan di Ciwaluh atau tempat-tempat bertanah. Membayangkan kakinya berakar ditanah, energi negatif kembali netral dengan grounding di tanah. Semuanya visualisasi, abstraksi, dan rasa-rasa yang tipis. Sebermulanya imaji menjelma nyata.
Sayangnya, dan untungnya, tak banyak dokumentasi yang ada ditanganku saat ini. Pasalnya kami melakukan digital detox juga, jadi tidak pegang hape selama kegiatan. Jam saja saya tak tau, kecuali diberi tahu panitia ataupun teman yang buka hape hehe.
Dijemput di rumah jam 4.30, bertemu teman dan bukan teman saling berkenalan dengan teh panas dan rebusan-rebusan masyarakat Sapuangin. Cawik yang dingin hari itu hehe. Singkat cerita kita jalan kaki masuk hutan, tidak jauh masuknya tapi sangat tenang dan serene. Mas Adi, psikolog yang mendampingi kami, menjelaskan dan membantu kami memahami mindfullness melalui praktik-praktik.

Pagi itu, jarang. Kabut sangat dan dingin teramat. Sorenya sama, gerimis agak deras dan anginnya terasa seru. Ada suara angin yang cukup kencang, kata temanku Mbek itu suara kabut, entah benar entah dia duga-duga saja.
Mas Bagus, supir yang menjemput kami, ternyata kedinginan juga. Untung ada temuan manusia modern bernama mobil menjadi benteng perlindungannya. Kami pun sama, merasa hangat di dalam mobil menjelang pulang.
Meskipun secara jujur, setelah beberapa kali mengikuti acara meditasi, saya sepertinya bukan pangsa pasar untuk kegiatan meditasi, visualisasi, dll tapi patut dicoba untuk teman-teman yang membutuhkan ketenangan, kedamaian, dan ingin sembuh dari banyak hal yang belum sembuh. Di hutan yang tenang itu, saya sadar saya terlalu banyak bicara, bercanda, dan berpikir. Yang diajarkan dan diminta untuk mencoba dari keseluruhan kegiatan adalah kebalikan dari 3 hal tersebut. Saya sudah mencoba tapi saya tidak bisa, dan saya menerima diri saya apa adanya. Penerimaan akan membawa kita lebih jauh kedalam kerahayuan dan kealhamdulillahan. Dan pikiran kritis homo sapiensku adalah salah satu senjata sekaligus kelemahanku.
Pada intinya, senang sekali bisa sekali paling tidak mengalami forest therapy yang bukan hanya forest bathing (shirin-yoku). Serta bisa mengenal banyak calon leluhur yang berada di Sapuangin dalam waktu dan tempat yang dipersilahkan kemarin. Semoga semuanya sehat berkah dan full cinta.

Naik gunung ternyata tidak harus sampai puncak ya, ada hutan-hutannya yang baunya nyaman sekali, dan suara burung serta hewan-hewan lainnya itu lho. Pohon yang rantingnya dilompati lutung ternyata ada suaranya. Unik.
Bonus, foto 2 CEO Palmae FEB UGM pada masanya. Sudah lama ga naik gunung. Akhirnya naik gunung tapi tujuannya bukan puncak atau camping, perasaan dulu belum pernah hehe.

Biasanya ada open trip sebulan sekali, atau bisa juga book private trip. Info lengkap bisa cek https://www.instagram.com/forest_therapy.id/?hl=en
Pondok Cabe, 30 Juni 2025
Nihan Lanisy
Leave a Reply