Tentang Sedih

Percayalah, tanpa adanya kesedihan, kebahagiaan terasa hambar. Kutub utara merasa sendiri saat tak ada selatanya.

Beberapa waktu terakhir, saya senang menulis tentang kesedihan. Milikku, milik teman-temanku, dan secara global kolektif kolegial. Pada beberapa hari lalu, akupun mengambil gitar dan mulai kumainkan (slank).

aku kan mengumpulkan air matamu
kedalam gelas berisi es batu
dan kemudian kita minum bersamaan
menenggak sedihmu menjadi-jadi

Dalam beberapa konteks, kesedihanku dan kesedihanmu ingin aku tertawakan. Karena justru dibalik kesedihan itu ada potensi kebahagiaan. Namun ada yang terlarut dalam sedih tak berujung. Padahal tak ada sedih tak berujung, kebahagiaan selalu dekat, seperti Allah sedekat itu dan sejauh itu juga. Bagai proton, elektron, dan neutron: semua saling melengkapi, melingkupi, menelikung, dan menampung.

Wahai, jiwa yang bersedih. Ragamu ikut sedih. Perlahan terkikis, erosi, dan hancur. Kehancuran yang dibuat sendiri adalah bersinonim dari bunuh diri. Jiwamu bisa membuncah, meski terasa gelap dan sulit tak terarah. Mari, mengambil putar balik di jalan itu. Sedihmu sudah terlalu, sampai-sampai kesedihanmu itu terlalu bahagia.

Semoga sampai pada waktunya, semua sedih tak hilang. Hanya berganti dan menelongok dari belakang batu untuk siap-siap menyergap bahagiamu. Senantiaasa berputar terus, tanpa menepikan dan meniadakan sedih, namun tak selalu kita ingin menjadikannya pemeran utama. Sebab, mata kita bisa meliat ke 99 bata yang rapi, namun kita fokus pada 1 bata yang miring di tembok rumah ini.

Bogor, 27 September 2025
Nihan Lanisy

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *