Titik Mula Pengetahuan

Di Jumat yang penuh berkah ini, mari kita merenungkan tentang pengetahuan.

Jaman sekarang, pendidikan tinggi yang diagung-agungkan adalah dunia akademik di dunia barat, bukan Jawa Barat maksudnya, tapi sekitaran Eropa dan Amerika, dan mungkin agak ke barat yang selatan: Australia. Tempat dimana katanya pengetahuan dan riset sangat maju. Lalu apa kabar dengan kecerdasan disini? di Indonesia kita.

Kalau mau ahli manajemen, harus ke Harvard MBA. Kampus-kampus di Indonesia juga mengacu ke QS Top 100, dengan kemajuan kurikulum, riset, pengetahuan, dan administrasinya. Standarnya tinggi. Apakah sebenarnya kita benar-benar harus belajar keluar? Apa yang bisa kita pelajari ke dalam?

Pendidikan tinggi formal, orang berbondong-bondong ke Barat. Pengetahuan tradisional, timur yang punya banyak. Masyarakat adat punya pengetahuannya masing-masing. Kita ini kalau disuruh mengekor/mengikuti dunia akademik barat, tentu akan menjadi ekor terus. Ekor yang tentu sulit untuk menyusul, kecuali dengan determinasi tinggi ala Tiongkok/Korea/Jepang. Dengan kultur Indonesia yang laid-back, alon alon waton kelakon, sepertinya tidak pas, tidak fit, tidak cocok, tidak match, untuk budaya belajar seperti itu.

Saya bukan anti pendidikan, namun jika memang secara sistemik tidak cocok dengan DNA manusianya, tentu tidak akan nyambung. Dengan segala budaya tutur yang sudah mendarah daging, kita disuruh membaca dan menulis. Merubah budaya tentu bukan hal yang mudah. Dengan kekuatan budaya tutur, seharusnya bisa diterima dan di-embrace.

Ibaratnya, seluruh pengetahuan yang nenek moyang dan leluhur sudah bangun, seperti hanya dihempas begitu saja dan dianggap tidak berguna. Kalau tidak ditulis di jurnal artinya belum jadi pengetahuan yang sahih. Sejak kapan kita terjebak seperti ini dan mau menjebakkan diri menjadi seperti ini. Terlalu banyak pengetahuan yang dicampakkan karena tidak formal dan tidak standar. Formal dan standar, kata kunci modernisasi dan industrialisasi.

Kita memang hidup, mungkin sudah agak lama, dalam dunia yang nyaman dan penuh kemudahan. Disisi lain, kita masih belum lepas dari belenggu kebebasan berpikir. Kita masih harus berpikir mengikuti cara pikir orang lain, tak bisa menjadi diri sendiri. Sampai hal ini berubah, tak ada “pengetahuan” lahir di Indonesia.

Sekian khotbah jumat hari ini, semoga kita semua menjadi orang yang bisa menerima apapun apa adanya. Titik start kita berbeda, bagaimana kita mau berlomba. Fastabiqul Khairat, berlomba-lomba dalam kebaikan. Alhamdulillah.

Seluruh pengetahuan hanya milikNya. Dengan filosofi seperti ini, semoga dunia akademik sekular menerima kehadiranku dan sejenisku. Kalau tidak diterima tidak apa-apa, saya tidak mencari penerimaan siapa-siapa kecuali nyamuk chikungunya. Saya rasa ada sedikit rasa sama dengan Italia, dimana kehidupan yang tenang jangan sampai diganggu ke-la-dolce-vita-nya.

Pondok Cabe, 7 Februari 2025
Nihan Lanisy

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *