Saya pribadi, dan mungkin para pembaca, mungkin sering mengucap kalimat astaghfirullah, insyaallah, alhamdulillah, subhanallah, masyaallah, dsb. Salah satu alasannya adalah habit/budaya. Bagi sobat saya yang nasrani, biasanya alhamdulillah menjadi puji tuhan. Ada juga teman yang lebih memilih menyapa “s elamat pagi” daripada assalamualaikum, meskipun maknanya tentang mendoakan selamat juga.
Sesuatu yang dilakukan berulang-ulang dan jadi kebiasaan akan membudaya. “Budayakan antri”, frase itu mengisyaratkan bahwa antri bukan kebiasaan di situ. Gitu kan?
Nah siang ini, di meja makan, kami disuguhi pengingat tentang ucapan istighfar. Istighfar adalah meminta maaf pada YME. Tentu manusia adalah sumber kesalahan, dimana salahnya diulang-ulang kadang dikemangkan dan diinovasikan. Kodrat manusia adalah melakukan kesalahan, kalau tidak salah bisa jadi sudah mati.
Namun, kata-kata bisa hanya jadi kata-kata atau jadi sebuah ledakan pengubah kehidupan. Kata ya cuma kata-kata, kalau diucapkan tidak sadar. Ia cuma menjadi susunan huruf yang dibunyikan. Tanpa kita pahami dan resapi maknanya sembari kita benar-benar walk the talk. Kata-kata itu dilakoni, bukan cuma diucapkan dalam nggambleh saja.
Tentu ini adalah sebuah proses bagi manusia, menyadari bahwa kata-kata bisa dimanfaatkan ditataran yang lebih bermanfaat. Kata sebagai pembekuan dari nyatanya hidup. Hidup yang dijalani diarsipkan dalam sastra.
Mungkin satu kalimat penutup saja, apakah kita benar-benar minta maaf, merasa bersalah, dan tak mau mengulangi kesalahan lagi saat kita ucapkan astaghfirullah hal adzim? Tanyaku pada diriku sendiri juga ini.
Andai saja Allah buka semua penutup dosa kita. Mau kemana lagi kita. Aku bukan orang suci, tapi semoga mandiku berharap bisa diterima, semoga selalu. Kalimat demi kalimat mengingatkan, mungkin memang ada suatu waktu dimana kalimat berubah pelukan hangat, apalagi peringatan keras dan penakut-nakutan terhadap neraka menjadi sebuah hal yang harus diterimakasihi.
Pondok Cabe, 30 Desember 2024
Nihan Lanisy
Leave a Reply