Di pagi yang sunyi, deru mesin cuci sudah berisik. Kalau tak dicuci pagi, seharian bisa tidak kecuci, pikirku.
Matahari samar muncul, luar sudah sedikit terang. Mendung tampak jauh. Mungkin memang ini saatnya mencuci baju.
Cucian selesai dan dijemur, mendung masih menggelayut. Namanya juga kadung dicuci, harus dijemur.
Saya minum kopi sambil muhasabah didepan jemuran saya.
“Pawang hujan itu ilmu lho mas, bisa dipelajari”, kata seorang teman yang sebetulnya saya anggap guru juga
Ada beberapa cerita dari pihak pertama (pawang maupun pemakai jasa pawang, sehingga saya anggap semi-sahih) dan kaitannya dalam memodifikasi cuaca. Kebanyakan dengan ritual tertentu seperti: tidak boleh merokok atau dilarang bilang “hujan” atau mengantongi batu yang nantinya harus dibuang. Masing-masing “pawang” punya ketentuan berbeda, mungkin karena beda guru/kebudayaan.
Saya pandangi jemuran saya. Saya sesap kopi.
Saya tidak perlu dan tidak mau memawangi calon hujan ini. Hujan yang digeser, tentu akan membuat hajat orang lain terganggu. Ini juga kisah lucu dari rekan saya. Pertambangan sangat pawang katanya, sebab kalau hujan deras operasional bisa terganggu sehingga rugi. Tempat ia kerja, tambangnya hujan terus. Setelah diusut oleh pawang hujan perusahaan itu, ternyata 4 perusahaan tambang yang mengelilinginya “membuang” mendungnya ke situs perusahaan teman saya bekerja ini. Ada-ada saja.
Saya sesap kopi lagi, mikrorehat sangat dibutuhkan untuk topik yang menyerempet “musyrik” bagi sebagian atau banyak orang.
Hujan adalah berkah, dalam alam bawah sadar saya. Hal ini karena ditanamkan. Keluarga adalah tanah tumbuh kebudayaan dan saya bersyukur lahir di keluarga yang menganggap hujan adalah berkah. “Kalau hajatan kita memang harus hujan, biarlah hujan”. Menerima. Ini semua pilihan, bukan benar-salah absolut. Namun, yang selalu ada dalam nurani saya adalah pertanyaan “siapa saya kok mau mengatur semesta? ada banyak kepentingan di dunia ini, bukan hanya kepentingan saya”
Apakah awan bisa digeser manusia? Tentu bisa, dengan restuNya. Entah dibantu jin/setan ataupun tidak. Ini cuma pendapat saya, sekali lagi bukan kebenaran. Hasil renungan bertahun-tahun mengimani dan menanggapi kemistikan putaran dunia.
Masih di depan jemuran, kopi masih banyak.
Pagi ini saya cuma berdoa, memandang mendung dan meminta padaNya: berikan yang terbaik untuk kami yaAllah. Jika harus basah, maka basahlah. Jika harus kering, maka keringkanlah. Jika harus dijemur di dalam rumah, saya menerima. Jika harus benar-benar dikeringkan di laundry dan saya harus berbagi rejeki lebih dari 50k saya rela.
Barusan, sembari tulisan ini mau saya akhiri, matahari semakin berani. Hangatnya semakin terasa dikulit.
Dalam olah rasa manusia, matahari yang samarpun memberi kehangatan yang sangat. Malam Bogor dingin, berubah jadi hangat seketika matahari muncul, semalu-malu apapun. Apalagi saat mendaki gunung, sedikit matahari di pagi hari sungguh menghangatkan.
Mungkin saatnya kita mulai sering mensyukuri nikmat dan berkah yang kecil-kecil. Sebab semua kebesaran dioperasionalkan dengan hal-hal kecil. Allahuakbar.
Oya, selamat natal untuk sobat-sobat nasraniku yang merayakan. Salam untuk keluarga.
Oya lagi, merubah keseimbangan semesta selalu memunculkan konsekuensi. Begitu kata temanku di Bali.
Bogor, 25 Desember 2024
Nihan Lanisy
Leave a Reply