
Setelah meninggal 2 hari, hape saya nyala lagi. Alhamdulillah.
Ceritanya, hape saya batrenya super ngedrop. Turun 1% per menit. Solusinya sudah ketemu, di airplane mode kalo pas ga di pake. Gps mati. Brightness di paling minim. Semua efisiensi dilakukan, dengan model begini perjalanan ke Jogja 15 jam saja masih nyala sampai jogja haha.
Namun, pada suatu hari baterai 25% dan di cas pakai seluruh charger yang ada di rumah gabisa. Arrivederci, hapeku sekarat. Akhirnya betul mati dan tak bisa ditambah baterainya lagi.
Hari pertama kematiannya, masih terus dicoba. Nihil. Tak berbuah apa-apa. Paginya, aku masukan ke dalam kantong beras. Ikut-ikut orang lain, barangkali ada kalori beras yang masuk jadi hapeku punya semangat lagi. Lah, yang ada aku kelupaan naruh hape disitu, ditemukan istri yang lagi mau masak naai wkwk.
Malamnya, aku masih tak mau putus asa. Sambil main laptop, aku coba colokkan hapeku ke laptopnya. Setelah 1 menit, perlahan baterai terisi. Sangat pelan dan seperti tidak berkelanjutan. Aku teruskan saja sampai 7%, lama, lalu aku pindah ke charger biasa. Alhamdulillah nyala dan normal. Saat ini aku ketik tulisan ini dengan hape itu.
Sejatinya, saat sudah mati, mulai setan membisiki untuk hutang kartu kredit atau koperasi, hal yang mudah untuk dilakukan, mau beli hape baru ceritanya. Tapi ada keyakinan nurani yang berkata “ia belum mati”. Inikah yang namanya rasa?
Benda mati itu saya kasih dan saya sayangi serta kasih sayangi sampai akhirnya mukjizat turun pada waktunya. Entah karena beras, entah karena ditiup-tiup jack chargernya, entah karena listrik laptop yang lebih bersahabat, atau entah karena apapun. Yang jelas tak henti-henti memuji Allah karena hal ini. Kami terhindar dari hutang yang tak disarankan. Semua kepastian saintifik saya singkirkan, saya tak tau apa-apa, seluruh pengetahuan dan inspirasi hanya dari Sang Empunya.
Jadi, sesuatu butuh waktu. Begitu pula, waktu membutuhkan sesuatu.
Bogor, 6 Februari 2025
Nihan Lanisy
Leave a Reply