NB Hotel

Sekedar catatan-catatan personal, yang saya temukan menarik dari beberapa lawatan di hotel:

  1. Menginap di hotel itu menyenangkan kalau tidak sering. Sepulang dari 4 hari di hotel, saya merasakan kenyamanan yang tak tertukar di rumah. Ada kehidupan yang saya rasakan, otentik dan tidak plastik. Di hotel, ada kenyamanan yang terstandarisasi namun ada rasa isolasi disana. Apalagi waktu saya menginap di Grand Whiz Lebak Bulus, lobbynya ada di lantai 6. Saya merasa sangat tidak grounded, sebab memang saya berada di atas tanah yang jauh. Kamar saya di lantai 25, dimana liftnya digunakan bersama dengan para penghuni apartemen yang menempati lantai 7-20 (menurut penuturan salah satu penghuni apartemen).
  2. Meeting room yang tidak ada pemandangan luarnya, terasa sangat menyiksa. Insan manusia yang merupakan komponen integral dari alam, kehilangan landasannya. Mungkin ini saya saja yang merasakannya, karena sengaja hidup saya buat agak sensitif-sensitif gitu. Dari jam 8 pagi sampai 9 malam, berkutat di dalam 4 sisi tembok. Dengan AC yang menyembur menjanjikan kesejukan, namun yang saya rasa hanya dingin. Dingin yang tidak peka dengan keadaan sekitar. Diluar panas, namun kita tak punya sedikitpun kesempatan untuk merasakan kenyataannya. Apakah kita bagian dari alam raya, atau kita sesuatu yang terpisah? Asik filosofis banget ya, mumpung selo.
  3. Pada satu sesi di meeting room, ada suara yang bocor dari ruang sebelah. Sedang ada seminar terkait mencari penghasilan dari internet. “Saya sudah dapat 20 juta per minggu”, testimoni dari salah satu orang yang datang. Saya nunggu kata-kata “kapal pesiar” tapi sayang hari itu tidak ada. Ruangan sebelah penuh motivasi. Dan saya pun merasa harus ikut bertepuk tangan, sebab meski dipisahkan partisi, rasanya kami masih dalam satu acara yang sama, meskipun nyatanya berbeda.
  4. Pengembangan dosen merupakan program yang baik, jika yang dikembangkan bukan berat badannya. Makanan di hotel, saya coba pandang sebagai ujian kehidupan. Semua kenikmatan dihamparkan, namun apakah kita bisa menahan. Hidup tanpa rem adalah hidup yang otw nabrak. Maka di satu kesempatan kemarin, Di Lebak Bulus, saya mencoba untuk makan 1 kali saja. Ambil satu piring, letakkan makanan secukupnya disitu dan tidak usah melancong lagi ke meja-meja lain setelahnya. Alamak, ada waktu-waktu ketika makanan rasanya masih kurang, setelah ditambah, ternyata kekenyangan. Memang butuh rasa yang cukup untuk “makan saat lapar, dan berhenti sebelum kenyang”.
  5. Ada saat saya mengajak keluarga ke hotel, namun bukannya saya tidak mau mengajak, ada perasaan “sepertinya mending di rumah”. Pasalnya, hotel-hotel yang terlalu plastik tidak memberi ruang untuk mengalami hidup. Konsep “leisure” itu memang subjektif. Bagi saya, leisure adalah menginap di rumah, kalau pun perlu membayar saya mau juga. Hidup itu ada berantakan-berantakannya, tapi selalu dirapikan oleh room service (ini bener ga ya namanya). Kalau di poin ini, saya cenderung mengeluh saja. Abaikan ya. Ketika “leisure” itu merupakan lari dari kenyataan sejenak, ada beberapa tubrukan dengan orang-orang diluar kepariwisataan yang sedang menjalani kehidupannya. Apakah tabrakannya mencelakakan atau justru menjadi persahabatan, ini yang semoga yang kedua yang terjadi. Tak kenal maka tak tabrak.
  6. Saya pesan hotel di Surabaya modal ngawur saja, saya kurang paham area Surabaya. Novotel Ngagel, waktu datang ternyata hotelnya sudah dari tahun 1996. Pasti ini megah pada masanya. Namun, ini justru hotel yang sangat saya senangi. “Ini kan resort mas, jadi banyak ijo-ijo dan enak untuk santai”, kata Pak Harris, Pembuat Omellete pada sarapanku tadi. Ah, ternyata preferensiku memang yang seperti ini. Jadi disini, menurut hemat saya, secara keseluruhan bangunannya lama namun kamarnya sudah direnovasi disesuaikan dengan zaman.
  7. Kamar saya di Novotel Ngagel ratenya Rp 1264000 utk 2 hari, booking di tiket.com. Jenis kamarnya Superior King (Double Superior). Enaknya apa? Kamarnya di lantai 2, jadi akses kemana-mana jalan dan bisa lewat tangga. Bahkan lantai ini sebenarnya sejajar dengan lobby. Ah, enaknya tidak naik lift. Sebab sewaktu kemarin menginap di lantai 25, setiap kelaur dari lift, badan rasanya limbung. Bukan cuma 5 menit, tapi rasa-rasanya keseluruhan hari, mungkin gara-gara beberapa kali naik-turun juga dan jarang naik lift yang tinggi-tinggi begitu, agak lama rasa limbungnya: Seharian.
  8. Waktu sarapan, saya biasakan menyusun piring dan gelas untuk mudah diambil oleh mas-mbak yang membersihkan meja. Pagi ini, tumpukan saya agak tinggi, ada 4 piring, 1 gelas, dan 2 sendok. Saya jadi bertanya-tanya, apa saya tidak bisa pake 1 piring, 1 sendok, 1 gelas saja? Kan minimal membantu sang pembersih meja dan pencuci piring. Kalau bisa mudah, kenapa dipersusah. Pagi ini saya belajar, untuk mencoba meringankan beban orang-orang, meski nantinya saya kelihatan aneh hehe. Maaf ya mas-mbak.
  9. Semakin kita belajar dan mengenal orang-orang yang memberikan pelayanan, semakin kita tau bahwa mereka itu manusia yang sama seperti kita. Selain statusnya sebagai “pelayan tamu” tentu baiknya kita memperhatikan sisi lainnya sebagai manusia. nguwongke kalau bahasa jawanya, dengan mengucapkan “terimakasih” “maaf” dan basa-basi lainnya tentu akan menyenangkan sekali untuk semua pihak.
  10. Karena ada penggunaan meeting room, saya amati bagaimana hotel-hotel itu menyikapi meeting room. Format mejanya dibuat U-shape, dengan penataan pena, air minum, permen, dan lain-lain yang standar. Kemudian bagaimana coffe break disajikan. Menarik sekali hanya mengamati bagaimana hotel menata ruang rapatnya. Ada ilmu yang bagai tanah, menunggu kita untuk menggali sumurnya. Beberapa saya foto untuk dokumentasi. Dan semua komponen menjadi merchendise hotel: notebook, pensil, pulplen, tas, dst: semua diberi branding hotelnya. Ah merchendising.
  11. Sebagai penutup. Cerita-cerita di atas semata untuk saya mencatat dan mendokumentasikan rasa yang tertinggal. Tak ada niat untuk menghujat atau memuji. Salah satu angen-angen saya belum tercapai, menginap di homestay dengan kehidupan yang nyata, namun sulit karena homestay disini kebanyakan tak ada bedanya dengan hotel. ndak ada host-nya. Sebab perjalanan sendirian seperti ini hampa rasanya, terlebih saya bukan penggemar wisata kuliner, jalan-jalan ke tempat wisata umum, dst. Setiap lawatan ingin saya jadikan silaturahmi, kepada saudara lama atau saudara baru. Kepada siapa saja yang ada. Manusia, dinding, air, hantu, dan hal-hal lain yang tak terdefinisikan. Pariwisata lebih dari hura-hura, ada jiwa di dalamnya.
  12. Dalam palung hati, senantiasa mencoba berdoa “Ya Allah, hindarkanlah aku dari segala yang berlebihan”. Setiap perjalanan adalah diperjalankan. Rencanaku tentu bukan rencanaku.

Surabaya, 22 September 2022
Nihan Lanisy

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *