Angin adalah sesuatu yang tak terlihat, tapi dapat dirasakan. Begitu pula sinyal internet.
Ada banyak hal yang tidak terlihat tapi berdampak di dunia ini. Diterimalah kegoiban itu.
Membaca kisah menjelang kematian Syech Abdul Qadir Jailani di buku terjemahan indoensia Futuhul Ghaib, nasihatnya adalah “Takutlah pada Allah”. Kata-kata ini, jika dibaca dalam keadaan biasa saja, mungkin tidak menggetarkan. Namun jika pada tahap kerinduan padaNya dan masuk ke state of spirituality tertentu (bajigur ik, dadi boso inggris ngene hehe) kata-kata itu sungguh menggetarkan.
Disaat kita dihadapkan ketakutan akan kelaparan, kemiskinan, penjara, donald trump, brimob, asteroid, child-free, lgbtq, dll; kita malah disuruh takut sama Allah. Ada banyak hal-hal tampak berdampak dan tidak tampak berdampak yang menakutkan didunia ini. Namun nasihat beliau adalah “Takutlah pada Allah”.
Kalimat yang diucapkan oleh munafik (bicara tapi tidak melakukannya) bisa jadi punya getaran yang berbeda. Yang ini, it hits differently (kok tiba-tiba keminggris iki piye).
Orang yang sudah tidak punya takut selain padaNya, tak punya apa-apa lagi untuk ditakutkan. Bahagia dalam lapar, miskin, dan papa. Bahagia dalam kesedihan. Tidak takut pada ketakutan terdalam. Semua gelap dan temaram sirna, hanya diisi cahaya. Cahaya yang selama ini mungkin aku, kamu, kita hidari secara sengaja, justru masuk ke dalam kubangan gelap.
1 jam mati lampu saja, PLN sudah dimarah-marahin. Bagaimana 30 tahun belakangan yang mati lampu tak berkesudahan. Semoga cahaya masuk sedikit demi sedikit, pelan demi perlahan, karena cahaya hanya terasa jika gelap melanda.
Ada banyak kalimat di buku itu yang bisa dikutip, satu dulu yang dibagikan: ringankanlah beban orang lain, diminta maupun tidak. enak. Constrain kita banyak: waktu, tenaga, duit, sumber daya, dll. Namun jangan sampai yang satu ini ter-constrain-i: NIAT.
Pondok Cabe, 13 November 2024
Nihan Lanisy
Leave a Reply