Sedikit Kurang Digital

Dunia maya memberi kita sesuatu yang borderless (tanpa batas) dan endless (tanpa akhir). Ada istilah infinite scroll yang menyebabkan kita bisa scroll story/status secara tak terbatas. Semua yang tidak ada batasnya, sesungguhnya punya batas. Secara imajiner/goib.

Seandainya, ada 1 ton nasi tersedia di depan mata kita dan kita bisa makan semua. Apakah artinya kita bisa makan semuanya? Tentu bisa saja, tapi kita tak mampu. Pasti ada konsekuensi yang mengikutinya jika kita melahap semua itu. Sama kasusnya dengan konten-konten di internet yang kita lahap dengan tinggal lhep itu.

Sekitar tahun 2019, saya mulai membaca tentang minimalism dan menerapkannya di kehidupan digital saya. Yang paling membekas adalah mematikan notifikasi (whatsapp, medsos, dll).

Ketika saya membuka HP anggota keluarga saya, rata-rata ada banyak sekali notifikasi. Entah dari medsos atau app-app lain yang diinstall. Notifikasi itu sangat mengganggu dan secara umum akan aktif jika tidak kita non-aktifkan. Mematikan notifikasi adalah suatu gerakan sadar untuk membuat kita sadar ketika membuka sesuatu sesuai kebutuhan. Misalnya, kita tak butuh

PERTAMA, matikan notifikasi. Masuk ke setting -> notification dan matikan semuanya, atau nyalakan yang butuh-butuh saja. Salah satu saran saya adalah matikan notifikasi Whatsapp + bunyi-bunyiannya. Ini sangat membantu, cek Whatsapp hanya ketika kita mau cek.

KEDUA, unsubscribe dengan email-email promosi dan notifikasi dari website/app yang kita pernah kunjungi. Email saya isinya banyak sampah, terutama promo-promo dari website-website yang sepertinya tidak pernah saya minta promonya. Ini biasanya terjadi saat kita pertama mendaftar/register di website itu, ada centang-centang yang tidak kita sadari membuat kita dikirimi email-email yang kurang penting.

Nah, beberapa minggu yang lalu, saya coba masuk ke setting Whatsapp saya. Disitu saya kaget. Ternyata porsi download saya pada Status WA menyentuk 8GB. Pantes kok kuota saya sering habis, ternyata status WA itu kebanyakan video dan tidak ringan, apalagi kalau kita sering infinite scroll. Akhirnya saya melakukan hal KETIGA: mute banyak status WA, saya sisakan yang penting-penting saja (keluarga dan teman terdekat).

Hubungan manusia dengan konten dalam bentuk story/status memang menarik dan sangat kontemporer. Manusia, secara global, sebetulnya sedang belajar bagaimana berhubungan dengan hal-hal ini. Hal-hal yang sangat menyita perhatian dan waktu kita ini.

Dalam hemat saya, story dan status adalah hal yang sangat menarik, karena konsepnya sama seperti news/berita. Berita adalah hal-hal yang recent/terbaru dan menyebabkan kita ingin tau hal tersebut. Bagaimana kabar seseorang atau dia sedang melakukan apa, hal-hal seperti itu secara instingtif menarik untuk manusia. Sayangnya, kita/saya sering tidak sadar bahwa hal tersebut menghabiskan sangat banyak waktu + menguras emosi + menghabiskan banyak kuota + yang kita lihat bukan orang yang kita kenal-kenal amat/stranger. Dengan menimbang untung-ruginya, maka saya matikan/mute semua yang saya rasa tidak penting.

Mungkin kita akan menjadi homo anti marketing jika mengurangi kedigitalan kita, namun jika itu baik dan lebih sehat untuk kita mengapa tidak. Nanti, kalau sudah sampai dasar sumur, sebetulnya akan disadari bahwa ini semua tidak penting. Namun karena ada elemen menghibur dari media sosial dan aplikasi di handphone, maka sepertinya kita sulit sekali lepas dari mereka.

Sebelum saya akhiri tulisan ngalor ngidul ini, barangkali ada yang membaca sampai sini, saya ingin menyampikan bahwa dunia ini disusun oleh hal nyata dan goib. Dunia digital, salah satu sifatnya, bisa mennyatakan yang goib. Ada banyak hal yang seharusnya tak kita ketahui tapi jadi tampak, seperti banyaknya orang-orang pamer. Kita sesungguhnya tidak perlu tau pencapaian dan konsumsi berlebihan teman/orang-orang lain, tapi kita jadi tau. Pengetahuan tentang hal-hal yang tak seharusnya kita tak ketahui adalah beban, secara psikis maupun mental (dalam pemikiran saya). Ada baiknya, kita mempertimbangkan mengurangi lihat kegoiban dunia dan kembali hidup secara nyata. Banyak tak tau.

Satu lagi, konsep Follow di media sosial itu sebetulnya menarik untuk dikaji. Misal kita follow selebritis, artinya kita secara sadar/tidak sadar menerima dicekoki kehidupannya (yang mungkin besar kemungkinannya tidak kita butuhkan amat). Atau dalam konsep pertemanan, saya follow seseorang karena dia teman saya, awalnya hanya untuk terhubung tapi bonusnya, yang menurut saya toxic, kita jadi tau kehidupannya yang mungkin tak perlu-perlu amat kita tau. Dalam hidup ini harusnya ada rahasia, sunatullah. Sebagai gambaran, Nabi Muhammad SAW kita ikuti tapi tidak perlu kita follow akun IGnya kan? Hehe

Ditulis dengan sedikit rindu HP Nokia yang cuma bisa telefon dan SMS.

Pondok Cabe, 24 Desember 2024
Nihan Lanisy

2 responses

  1. Setuju. Puasa digital adalah perlu.

    1. buka bersama yuk mas kapan wkwk

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *