Pagi adalah kenyataan.
Tak semua orang terbangun pagi ini. Beberapa mati.
Aku melihat kenyataan lewat di depan mata hatiku. Betapa gelap bagi sebagian adalah perintah berangkat. Sebagiannya masih termenung dalam lelap.
Tak ada yang salah dari pagi, semua hanya cara menyikapi. Ada yang mandi, ada yang nanti. Semua adalah keniscayaan.
Aku kemarin melihat air di atas dedaun, yang tak lekas menjelma uap meski siang terik sebegitunya. Ia tetap disitu, sedari aku belum buka mataku.
Meski pagi senantiasa berulang, setiap harinya berbeda. Hanya rasa yang sesap, bukan kalender dan jam kerja.
Pagi ini aku bersyukur, masih diberi pahala yang tertimpa banyak dosa. Diantara menuju, aku masih diberi tahu. Menikmati pagi tak harus dengan romantis, bisa jadi dengan menjadi seseorang yang terpaksa berangkat kerja.
Perubahan ada di tiap pagi. Langit menjadi harapan, jika terang menjadi patokan harap. Lagipula siapa yang suka kegelapan? Jika ada, itu cuma ilusi dan main-main realita.
Semoga pagi adalah surga kita bersama. Dimana semua dimulai kembali, sambil kita semua pelan-pelan menunggu gilir mati.
Jika aku mengeluh, rasanya pagi tak terlalu peduli. Sebab pagi juga dipaksa bangun pagi oleh tuannya. Bangun siang memberi tawaran kebebasan, namun darinya kudapati kehilangan. Kehilangan kesempatan berpagi ria, menikmati hampa.
Bogor, 10 Juli 2024
Nihan Lanisy
Leave a Reply