Riset, bahasa indonesia-nya Research, kok malah kayak reset ya. Mulai ulang dari 0.
Research, kalau dari kata-katanya, ini menurut saya yang fakir ilmu ya, Re+Search. Mencari ulang. Ngubek-ubek yang sudah diubek, untuk apa? Untuk mendapatkan pengetahuan lebih dalam, lebih jauh, lebih bermakna, lebih bermanfaat, dan lebih aplikatif.
Entah mengapa, menurut saya pengalaman riset di S1 dulu (skripsi), saya justru jadi trauma. Pemahaman terkait riset mungkin cuma 20%. Lebih banyaknya sekedar menyelesaikan tugas sesuai bimbingan, tapi saat lulus juga ndak tau sebetulnya riset itu untuk apa dan enggan rasanya untuk melakukan riset semacam skripsi lagi di masa depan.
Lah, kok saya ketemu lagi sama riset di S2 waktu menyusun tesis. Setiap ada riset2 seperti itu saya pasti stres. Karena yang pertama harus cari referensi-referensinya. Walaupun sebetulnya saya tidak berhak setres, karena cari referensi sekarang itu gampang banget, ada mesin pencarinya. Bayangin jaman dahulu harus ke perpustakaan, harus tanya sana-sani, sekarang semuanya digital sehingga mudah. Mudahpun setres dan males, emang dasar manusianya ya kalo ini hehehe
Riset di S2, saya lebih enjoy. Karena yang saya teliti memang yang saya sukai: Crowdfunding. Terlebih lagi, pembimbing saya membolehkan meneliti proyek saya sendiri, dengan segala biasnya hehe.
Balik lagi ke penelitian, nah ini beda lagi bahasanya dari riset. Jangan-jangan penelitian adalah dari kata dasar “teliti”. Sehingga suatu hal kita teliti dengan nastiti dan saksama untuk mendapatkan pemahaman yang serba lebih tadi.
Sekarang saya jadi dosen, mau tak mau salah satu dharmanya adalah penelitian. Saya tentu harus terus menerus belajar, untuk memahami riset itu apa, untuk apa riset, dan 5W1H lainnya. Dan saya dapati bahwa riset itu tak semenyeramkan itu. S1 dan S2, riset tampak menyeramkan karena ada pembimbinnya, yang mana sang pembimbing pasti lebih tau dan lebih punya pengalamanan. Sedangkan sang terbimbing biasanya adalah manusia ngeyel sok tau dan tak baca lebih jauh tentang riset di dunia akademik. Kalau waktu kuliah riset itu seperti susah memang disetting seperti itu, dibuat ada tantangan2annya. Kalau bisa susah, kenapa dibuat mudah hmmm.
Kedepan saya punya rencana S3, salah satunya juga karena terpaksa sudah kadung nyemplung di dunia perdosenan. S3, dari tampak luar, lebih menantang. Pasalnya, kebanyakan referensi yang saya baca, ajak ngobrol, dan tonton menyebutkan bahwa kita menjadi peneliti mandiri di S3. Jadi kita punya topik yang diusulkan, diberi pembimbingan, terus sehari-hari kita yang atur jadwal sendiri. Terus S3 kemungkinan pasti sulit karena pembimbing akan kritis dengan penelitian kita, memang tugasnya seperti itu. Bukan untuk menyalah-nyalahkan tapi untuk membuat kita belajar lagi, dengan cara terpaksa.
Jadi riset itu apa? Riset itu sehari-hari ada disekitar kita. Kita terus mencari ulang cara atau hal baru meskipun sudah banyak hal dan cara yang digelar. Internet saja ada 3G, 4G, 5G. Itu semua hasil riset. Bahkan instagram yang kita pegang sehari-hari, itu setiap komponennya hasil riset.
Jadi riset itu apa? Jawaben sendiri. Jiwa-jiwa yang bertanya dan jiwa-jiwa yang mencari akan menemukan kesulitan dan jawaban pada waktu yang bersamaan. Kalau cape riset, ya di reset dulu.
Pondok Cabe, 19 Desember 2023
Nihan Lanisy
Leave a Reply