Dear World Bank

Silahkan tonton video ini, pagi ini saya sarapan sambil nonton video ini. Ada beberapa hal yang ingin saya tanggapi, sebagai warga Indonesia yang bangga dengan baik-buruknya Indonesia.

Lihatlah thumbnail dari video ini. Ia mengutip dari World Bank (Bank Dunia) yang dinyatakan oleh seorang analis kebijakan pendidikan. Siswa Indonesia bisa membaca tapi tidak memahami apa yang dibacanya. Ini benar, saya alami sendiri pada diri saya saat dulu sekolah dan juga saya lihat teman-teman saya juga kesulitan. Saya mulai bisa membaca ketika saya punya ketertarikan, banyak bacaan semasa sekolah dulu seperti kewajiban yang dijejalkan ke mata saya. Saya tidak suka topik-topik tersebut, tapi saya terpaksa, dan akhirnya dengan kebaikan hati guru saya juga akhirnya saya lulus. Tentu ini sangat Indonesia, dimana “pemakluman” sangat banyak. Ini sangat Indonesia, sekali lagi. DNA saya tidak bisa memungkiri ini.

Ada satu hal yang saya rasa membuat pelajaran sulit “dibaca”. Banyak yang terjemahan dan konsep-konsepnya diluar konteks kehidupan yang dekat dengan kita. Kita mempelajari Pasteur tanpa tau Pasteur itu siapa, tinggal dimana, ngapain. Coba kalau yang dipelajari Kang Edun yang tinggal di belakang sekolahnya, tentu akan menarik, karena orangnya dekat dan bisa dijangkau. Salah satu yang paling penting lagi adalah: bisa disuruh cerita. Mengapa cerita penting?

Budaya nenek moyang kita adalah budaya lisan, bukan tulisan. Mungkin dulunya semua buta huruf. Saya percaya namanya gen atau DNA atau apalah sebutannya, itu mengakar karena ia menempel pada jiwa. Kita yang suka dengan cerita-cerita, dengan mitos-mitos, tiba-tiba dipaksa untuk membaca-baca dan menghapus mitos-mitos. Budaya belajar kita saat ini tidak touch the grass, tidak dibangun dari apa yang ada dan bagaimana sejatinya belajar itu dilakukan sesuai keindonesiaan kita. Kita mengikuti standar orang lain yang dimana dimatanya kita senantiasa salah, bodoh, dan rangking rendah.

Sampai kapan ini akan terjadi? Sampai ada pengambil kebijakan yang berani berdikari. Selama kita takut pada standar (yang standar itu sebetulnya maksudnya baik, namun harus pas text dan kontextnya), ya akan begini saja.

Pendidikan kita itu membangun rumah yang temboknya bagus tapi pondasinya tidak kokoh. Mau diakui atau tidak? Tentu tidak, karena akan membuat kita terlihat tak baik.

Mungkin saatnya guru dan dosen diubah namanya jadi tukang ajar. Tukang yang akan membangun pondasi-pondasi kuat dan membentuk cakar ayam-cakar ayam bangunan negara ini. Turun dari menara gading dan kembali sama-sama bodoh bersama mahasiswa.

Setiap manusia, jika diperbesar lagi, setiap negara dan budayanya punya ciri khas pembelajarannya sendiri. Gampangnya, lihat saja bagaimana Montessori dan Waldorf merajalela sedangkan ajaran Ki Hadjar Dewantara tak dibahas? Buah impor memang terasa lebih enak, dan gengsinya itu lho 🙂 Kita malu dengan ke-ndeso-an, ke-tradisional-an, ke-primitif-an, dan ke-adat-an kita mungkin, sampai-sampai ilmu nenek moyang yang sudah ada dikesampingkan dan kita belajar lagi dari 0 dan menghamba kepada ilmu barat. Sedangkan, dari mata saya yang sok tau, barat sedang menemukan ilmu-ilmunya mentok, berhasil membangun dunia dengan cara menghancurkannya.

Kalau ada yang tidak setuju dengan tanggapan saya ini, tentu sangat dipersilahkan dan sangat disarankan untuk seperti itu.

Pondok Cabe, 2 Januari 2024
Nihan Lanisy

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *