Senang dan sebal bercampur, lagi enak-enak tidur malah ada suara darderdor diluar. Yang patut disyukuri bisa menikmati kembang api tanpa membeli, selebihnya ordinari. Terimakasih orang-orang boros.
Pagi ini aku terbangun, sama saja seperti kemarin. Apa yang beda dari tahun baru? Tanggalan adalah formalisasi kehidupan yang abstrak, pikir dan egoku membatin.
Tapi kegembiraan anak-anak yang meluluh lantakkan egoku. Anak-anak gegap gempita begadang menanti letupan-letupan berisik. Merekamnya kemudian membagikannya. Betapa enaknya jadi anak-anak, apolitik aideologis. Hidup hanya mengalir, tak perlu melawan apa-apa dan tak dihadapkan banyak pertanyaan.
Aku masih tidak merayakan tahun baru, sampai menolak ajakan beberapa teman berkumpul. “Ayah tidur dulu ya”, kataku pukul sembilan atau sepuluh kemarin.
Tahun yang lama adalah arsip. Bisa dibuka, bisa disimpan dalam debu saja. Tahun baru adalah misteri, banyak orang merayakan misteri dengan resolusi ataupun harapan baik.
Dalam letusan yang bertubi-tubi semalam, pikirku melayang ke saudara-saudara yang mendapati gegap gempita sama namun dalam mood yang berbeda, lebih militer. Apakah kita boleh berbahagia saat ada yang bersedih? Apakah kita boleh jadi masyarakat lokal saat global diberitakan? Apakah ada boleh dan tidak boleh?
Ingat, tahun 2025 masih menyimpan 2 tahun baru lainnya: Hijriah dan Imlek. Ada juga tahun baru jawa. Ada banyak sekali kalender di dunia ini, apakah aku harus ikut merayakan yang tadi malam? Apakah aku harus ikut minimal 1 peryaaan?
Terlalu banyak pertanyaan, sepertinya tahun 2025 harus lebih kanak-kanak. Hidup hanya menjalani hidup, bukan memikirkannya terlalu banyak.
Solusi pun tak ada, apalagi resolusi
Bogor, 1 Januari 2025
Nihan Lanisy
Leave a Reply