Pariwisata Halal, Pariwisata Haram

Tontonlah video di atas, ada beberapa poin yang bisa dijadikan pelajaran atau renungan.

Pertama, Drew Binsky 2x ke Brunei pada waktu yang berbeda (dengan usia dan kedewasaan yang berbeda pula, serta dengan teman jalan yang berbeda) dan menemukan pengalaman yang berbeda. Dalam kepariwisataan ada banyak variabel yang akan menjadikan keseluruhan pengalaman menjadi berkesan atau tidak.

Kedua, Brunei adalah negara islam yang melarang alkohol. Tapi 30-45 menit naik mobil sampailah di perbatasan Malaysia dan temukanlah kebebasan disana. Ini sama dengan orang-orang ke Bali. Sama juga dengan negara tetangga-tetangga Arab Saudi. We’re all the same but different, ini sebuah fenomena.

Terkait pariwisata halal, momen ke Bali bulan Mei lalu membuat saya mendapatkan sedikit insight baru. Ada beberapa hal yang menggelitik sensitifitas saya sebagai pengamat dan pura-pura peneliti ini, pertama: banyak restoran menawarkan menu pork/babi. Untuk beberapa/banyak muslim, hal ini akan dihindari. Yang ditakutkan wajannya jadi satu, tempat potong-potongnya satu, dan sebagainya.

Lalu ada momen ketika kami makan durian di Gianyar dan minta rekomendasi makanan halal disekitar situ, kami diarahkan untuk makan Babi Guling dan Babi Kecap yang terkenal disitu. Tentu kami tidak menyalahkan Mbok penjaja duriannya, karena mungkin salah dengar perkataan kami atau memang konsep “halal” itu tidak dipahami mengingat Bali mayoritasnya agama Hindu.

Setelah 30 tahun ++ hidup, baru kemarin saya mengalami sensitifitas pada “pariwisata halal”. Dimana orang yang mau makan halal di tempat banyak makanan haram, membutuhkan destinasinya. Ya tentu di Bali ada banyak juga makanan halal, namun pengalaman kemarin ada rasa yang berbeda.

Nah, sebagai penyeimbang tentu “pariwisata haram” juga mau ditutup-tutupi mau dikekang-kekang juga akan selalu ada. Lihat saja di perbatasan-perbatasan negara itu, apa kabar dunia? apa kabar akhirat?

Afterall, semua itu pilihan dan kita harus sadar bahwa kita semua berbeda, bahkan sel-sel dalam satu tubuh kita pun berbeda-beda. Jadi tak perlu berantem, tak perlu saling memaksa. Mari saling memahami, belajar saling memahami, meski sulit dan tak akan paham-paham. Salam.

Pondok Cabe, 8 Juni 2023
Nihan Lanisy

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *