Kita tidak boleh menghakimi, sebab kita bukan hakim. Tapi setiap orang punya hak untuk menghakimi orang lain untuk referensi bagi dirinya sendiri, bukan untuk jadi keyakinan publik. Meskipun kadang penghakiman kita terhadap orang lain ada salah-salahnya juga, sebab datanya hanya observasi saja, coba deh ditambah wawancara untuk lebih lengkapnya.
Tentu harus kita sadari, perbedaan itu fitrah.
Ada banyak hal yang ingin saya ceritakan, tapi takut menyinggung perasaan teman-teman yang membaca. Satu saja ya, dari pengamatan saya, kalau orang tidak punya sarana ekspresi untuk aktualisasi diri ini akan meracun dirinya sendiri dan bisa menjadi racun untuk orang lain disekitarnya.
Seni dan menulis bisa jadi pelampiasan dari ekspresi diri. Budaya kita ini banyak kekangan ekspresinya. Dari sisi suku, agama, ketetanggaan, dll. Kalau ada orang yang aneh/sulit diajak kerjasama/nyebelin, biasanya ada hambatan di energi ekspresinya.
Misal: tidak bisa menyampaikan keinginannya, tidak bisa menyampaikan ketidaksetujuannya, tidak bisa menyampaikan segala hal yang akan membuat orang lain tidak enak.
Sesungguhnya, jika hambatan ekspresi itu hanya merusak dirinya sendiri, secara egois, saya tentu tidak akan keberatan. Rusak-rusaklah saja dirimu dengan segala hambatan yang sistemik atau kau buat-buat sendiri. Namun jika hambatan ekspresi itu mempengaruhi orang-orang disekitarnya, termasuk saya, racun itu sebaiknya tak perlu ditebar.
Jadilah sedih dan rusak sendiri, tak usah ajak-ajak orang lain. Ceritakan, tentu akan aku dengarkan, namun aku memilih tak masuk dalam duniamu yang gelap, suram, dan penuh dengan perasaan menjadi korban.
Disisi lain, tentu jika menemukan yang begini, aku ingin membantu dan senantiasa mendoakan. Sebab yin-yang dunia adalah keseimbangan. Doa disertai dengan sedikit rasa sebal. Ingin membantu ada diseimbangkan rasanya dengan ingin membantu dengan menjauhi.
Berempati berbeda dengan ikut-ikutan menjadi seseorang. Tiap orang menanggung konsekuensi dari takdir dan perilakunya sendiri.
Panjang-panjang saya tulis, saya cuma mau bilang: yuk senantiasa positifkan apapun yang terjadi di dunia ini. Jadi setitik cahaya yang menyinari hitam buta dunia. Jangan sampai, kita terjebak menjadi kehitaman dan negatif yang tak berujung. Kita bukan orang paling sengsara di dunia ini, masih ada nafas yang bisa disadari dan disyukuri, meskipun hanya itu yang kita punya. Dan ada energi potensial yang disebut potensi karena belum terjadi dan belum dimanfaatkan, matilah energi potensial itu dengan segala negativity-mu. Plis, berhentilah.
Untuk siapapun yang dirasa perlu untuk membaca tulisan ini.
Bogor, 13 Mei 2025
Nihan Lanisy
Leave a Reply