Semenjak cidera lutut, yang banyak orang menyebutnya keseleo walaupun saya kadang ndak setuju, sudut pandang kehidupan saya seperti ada yang berubah. Saya sadar kalo tidak semua hal bisa saya lakukan, kalaupun bisa sepertinya akan semakin lambat.
Apakah itu masalah? Tidak juga ternyata. Semakin saya bisa menikmati ritme yang lebih lambat dari kehidupan ini, seperti ada beberapa beban yang hilang. Beban kesusu,
Tau ga kalau saya kira cidera ini hanya akan berlangsung 1-3 hari saja? Sewaktu dipijat di jogja, saya kira habis dipijat cidera olaharaga langsung selesai. Ternyata makin parah. Setelah di pijat Teteh Sonya di rumah, kaki sudah enakan langsung saya pake jalan kemana-mana. Apa hasilnya? Tambah sakit. Yang paling parah, senin minggu lalu saya ke kantor naik turun tangga, ternyata sampai rumah tidak bisa jalan hehe.
Memang ada kalanya benar-benar harus istirahat. Karena kegiatan saya tidak memungkinkan saya istirahat total, saya istirahatkan kaki dari menapak di bumi, saya beli kruk (tongkat jalan itu). Ternyata kruk ini sangat solutif, kenapa saya baru beli di minggu kedua saya sakit ya hehe.
Kegiatan tetap bisa berjalan meski mobilitas melambat. Kaki tidak sakit karena tidak menapak. Ya walaupun pada beberapa kondisi, seperti saat naik bis, harus engklek pelan-pelan. Sempat kepleset juga pas naik pesawat kemarin. Tapi life must goes on.
Dan inilah aku, siap mau dikasih sakit kaki ini sampai kapan aja. Aku percaya ini takdirku, yang harus diterima sambil senyum-senyum. Gaperlu buru-buru, sembuh butuh proses. Aku sudah menerima sakitku, untuk sembuh.
Dan pengalaman sakit ini kok ada sedikit-sedikit mengarahkanku untuk tertarik meneliti pariwisata untuk difabel atau pariwisata inklusif. Sebab orang yang tak pernah merasakannya, mungkin tak sampai empatinya kesana. Jos, buka sithiik.
Pondok Cabe, 8 November 2023
Nihan Lanisy
Leave a Reply