Sebagai seorang guru, beliau sangat berhasil dalam membimbing kami. Bimbingan yang halus, bukan mendorong-dorong dengan paksa dan tidak menghakimi.
Saya ingat, ada fase dimana saya sangat drop dalam motivasi menyelesaikan studi S2. Saya sampai tidak mau membalas chat beliau. Saya takut dimarahi. Namun ketika ada satu kesempatan mengobrol dan saya sampaikan semuanya, justru beliau menyuruh saya untuk santai saja. “Siapa yang menyuruh kamu untuk buru-buru selesai, kalau cape ya istirahat”. Salah satu wejangan yang saya ingat adalah “Tiap orang punya waktunya masing-masing, tidak perlu iri dan membandingkan dengan orang lain”.
Beliau mungkin adalah salah satu dosen yang paling dekat dengan kami secara personal. Kami casciscus saja untuk bercerita tentang kehidupan, begitu pula beliau, tidak pelit dalam membagikan hikmah-hikmah dari kisah personalnya.
Kami tidak dituntut untuk menjadi seperti beliau, kami dibiarkan menjadi seperti masing-masing. Hanya diingatkan saja jika keluar dari koridor, terkait studi.
Saya kadang lupa kalau beliau adalah guru besar atau professor. Karena beliau mau diajak foto sambil mengangkat kursi kuliah yang dikalungkan di leher. Beliau mau makan bersama kami di kantin kampus yang sangat sederhana. Beliau mau naik motor bebek yang biasa saja. Keteladanan memang tidak perlu dijelaskan, hanya perlu dicontohkan saja dalam kehidupan sehari-hari.
Maafkan muridmu ini Prof, yang menunda-nunda terus dalam berkunjung sampai-sampai waktu itu tak mungkin lagi ada. Semoga kami bisa meneruskan semangatmu untuk terus bermanfaat, bergerak, berbagi untuk sesama.
Selamat jalan Bu Shelly, tempat terbaik sudah menantimu, semoga jalan di depan lapang, terang, mudah, dan indah.
Dari muridmu yang banyak salah, yang kau izinkan untuk meneliti dirinya sendiri, mengumpulkan tesis tipis, dan selalu kau percayai meskipun diriku sendiri kadang tak percaya. Supersuwun prof. RIP.
Bogor, 21 Agustus 2022
Nihan Lanisy
Leave a Reply