Menyimak berita akhir-akhir ini, dipenuhi tentang uang kuliah tunggal (UKT) yang naik berkali-kali lipat. Pendidikan tinggi disebut tertiary education oleh pejabat kemendikbud, ya memang benar sih. Tapi apakah itu menjadikannya harus mahal? Bisa jadi tidak, bisa jadi iya.
Sebagai salah satu bagian dari PTNBH, saya melihat ada efisiensi dan tuntutan menghasilkan pemasukan bagi institusi. Tapi kampus tempat saya bekerja, biaya kuliahnya murah dari jaman dulu, dibandingkan dengan kampus lain. Economics of scale, 500k+ student bro.
Disisi lain, join dengan Serikat Pekerja Kampus membuka mata saya dengan masalah lain. Kesejahteraan dosen dan permasalahan perdosenan yang pelik. UKT naik itu tidak serta merta kesejahteraan dosen dan fasilitas yang diterima mahasiswanya naik juga. Itu yang juga jadi masalah.
Pendidikan tinggi ini cukup asik untuk dikuliti. Kalau acuannya negara barat, apalagi Amerika dan Inggris, yo tentu biaya mahal. Biaya kuliah kita mungkin cuma seupil, dan disana student debt alias utang mahasiswa itu sudah hal lumrah, lumrah jadi masalah.
Semoga ada titik temu. Dan mungkin memang betul, tidak sekolah dan tidak kuliah mungkin adalah opsi yang ndak mustahal.
Belajar sepanjang masa, tanpa maupun dengan institusi dan ijazah.
Ikut sedih cerita saudara yang UKTnya tidak bisa turun padahal pendapatan orang tua turun karena sudah pensiun. Pendidikan memang bisnis. Yang ada didalamnya adalah buruh. Hal-hal ini sering diselamurkan dengan “pengabdian” dan kata-kata sinonim lainnya. Mau sampai kapan.
Bogor, 17 Mei 2024
Nihan Lanisy
Leave a Reply