Diskredit

Assalamualaikum. Semoga keselamatan senantiasa melingkupimu. Kajian subuh hari ini tentang merendahkan diri secara sengaja dihadapan manusia dan penciptaNya.

Pada tulisan ini, saya mau pamer beberapa cara saya menghadapi dunia. Kita sedang tidak membicarakan benar salah ya, ini referensi bagi yang membutuhkan. Siapa mau stres? Tentu tidak ada, tapi stres, yang berasal dari kata stress dalam bahasa inggris yang berarti tekanan, adalah fitur manusia yang pasti hadir menemani. Mau dibuang tidak bisa, ia seperti melekat namun bisa diatur tingkat tekanannya, oleh diri sendiri ataupun lingkungan sekitar.

Salah satu tekanan besar menjadi manusia adalah jaim, dalam bahasa panjangnya jaga image. Kita sebagai manusia punya gambaran ideal diri kita, yang kita buat sendiri mungkin dengan mereferensi ke orang tua, teman, idola, tetangga, dan lain-lain sekitar kita. Kita mencurahkan chi/energi dan waktu yang banyak untuk menjaga hal tersebut, seperti sederhananya make up yang lama, menyisir rambut, tidak kentut sembarangan, malu bilang ke supir kalau mau pipis, memilih baju yang cocok, memikirkan kata-kata yang tepat saat bicara dengan orang lain, memikirkan apa pikiran orang lain terhadap kita, menata rumah sebelum difoto untuk instagram, dsb. Banyak ya? iya.

Tenaga hidup kita terbatas sobat. Fokuslah pada hal-hal yang perlu difokuskan. Ada banyak hal yang kita lakukan hanya untuk memuaskan orang lain, tapi kita lupa memuaskan diri kita sendiri dan Allah, sang pencipta yang menciptakan kita. Sekali lagi ini bukan benar-salah, saya berbagi dengan niat pamer lho ya. Kalau kamu mulai tidak setuju disini, itu tujuan saya. Jadilah kritis dalam berpikir dan masuk IGD.

Gini, sebelum tulisan ini semakin panjang dan filosofis, aku hanya ingin menyayangi kalian dengan mengingatkan bahwa tidak ada masalah saat kita itu dipandang rendah oleh orang lain. Didiskreditkan. Dengan kebijaksanaan hidup seperti ini, banyak tekanan yang terangkat.

Supaya tidak terlalu filosofis dan abstrak, saya beri contoh empirisnya. Banyak sepatu dengan berbagai jenis dan merek, ada kebanggaan diri jika pakai yang kita suka dan unik serta harganya mahal. Cobalah pakai sandal jepit swallow yang murah atau sekalian tidak usah pakai alas kaki. Mendaki gunung ke atas, energinya lebih besar dan pada akhirnya dipuncak akan meaningless dengan pertanyaan, “gini aja ya puncak? “. Kita bisa memilih menurunkan diri dihadapan manusia dan Allah, dengan keswallowan dan kenyekeran tadi. Paham ga? Aku sih gapaham dengan apa yang kutulis sendiri hehe.

Atau gini, saya suka memposisikan diri untuk terlihat jelek, lusuh, kere, kotor, berantakan, dll. Semua labeling jelek itu, akan menarik banyak orang berkomentar jelek juga. Kritik juga bertubi-tubi datang biasanya. Ini adalah tirakat latihan sederhana untuk menempa diri kita supaya tidak jaim yang melelahkan. Mendiskreditkan diri sendiri. Biarlah semua orang dengan standarnya masing-masing dengan kredo “harusnya gini, harusnya gitu”.

Dalam hidup, paling minimalnya, yang HARUS adalah bernafas. Tahap selanjutnya bernafas dengan tenang dan baik. Naik level lagi, bernafas sambil mengingat siapa yang memberi nafas. Lagi naik, berbagi nafas dan peringatan tentang nafas ke orang lain. Saat nafas tidak, hidup pun tidak. Sesederhana itu.

Jadilah wagu, jadilah jelek. Untuk kesehatanmu dan jiwamu. “Kamu ga menghargai orang lain dengan penampilanmu itu”, yang sering dibilang orang kepadaku. Jawabanku dengan ngeyel sangat sederhana, ” Sama dong, kamu ga menghargai aku untuk jadi apapun dan sehat penuh keberkahan”.

Semuanya kembali ke niat, menggunakan kaos oblong untuk bekerja, bertemu pejabat, dan ke kantor pemerintahan sebetulnya sangatlah sopan. Yang tidak sopan adalah tidak pakai baju. Sebab apa? Sebab di dalam hati kita tidak pernah ada niat untuk menjadi tidak sopan. Semua itu adalah penghakiman niat, sementara niat kita seperti air garam. Keinginan orang terhadap kita selalu bersifat inflasi, nah kita deflasikan hal tersebut dengan tidak ikut-ikut menuntut diri kita terus menerus.

Sehat jiwa raga untuk semua pembaca ya. Kadang memang harus ada ngeyel-ngeyelnya menjalani hidup ini. Di dunia yang Maha Cinta buat dengan mahaluas, akan ada kotak-kotak yang dibuat manusia. Semoga senantiasa kita tak merasa harus masuk salah satu kotaknya, dan jadilah.

Bogor, 4 Juli 2026

Nihan Lanisy

2 responses

  1. Dear Jono..

    Kali ini aku ingin menanggapi kajian subuhmu dengan lebih formal. Dimulai dari paragraph pembuka, aku setuju bahwa kita memang sangat cilik dihadapan Tuhan, dan harus mengakui diri ini masih jauh dari kata “baik”. Tapi untuk merendahkan diri dihadapan manusia lain perlu kita pertimbangkan lagi situasinya hhhh..

    Dilanjut ke paragraph kedua, menurutku stress kadang diperlukan untuk menyeimbangkan kehidupan, manusia tanpa merasakan “rasa” stress mungkin juga ga merasakan Bahagia..

    Lanjut ke “jaim”, menurutku wajar juga sebagian orang merasa ada “aturan” sosial tertentu yg bkin hidup bareng orang lain lebih nyaman. Misalnya engga kentut sembarangan, bagi sebagian orang itu juga bukan semata-mata soal jaim, kadang ada unsur menghormati orang lain, supaya nggak bikin mereka risih, heheh.

    Soal nafas, setuju banget, sesederhana itu, mengingatkan selalu bersyukur masih diberikan nafas yang baik hingga hari ini..

    Terima kasih Mas Jono atas tulisan dan pemikiran yg unik, aku setuju walau byk engganya. Tapi balik lagi,hidup itu luas, standar org beda-beda, masalah org beda-beda, dan tiap manusia pny hak menentukan jalannya.

    Semoga sehat jiwa raga untukmu, keluargamu, dan kita semua, Aamiin. Stay Jono, Stay You. azek

    1. Jarang-jarang ada yang mau berkomentas panjang, supersuwun sudah mau melakukan itu, Lita.

      Semoga ada sedikit manfaat dari tulisanku yaa, buang semua yang tak berguna. Sehat berkah selalu

Leave a Reply to Lita Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *